Assalamualaikum.
Baru juga beberapa bulan lalu berniat istiqomah ngeblog, teteup lah kalah sama malasnya. Entah hari ini kena mood baik, pengen nyoba nulis panjang lagi. Udah keseringan nulis chat di aplikasi messenger sih. Hehe.
Selama semester 7 lalu, kamera saya dipinjem adik dibawa ke Bandung buat urusan kepanitiaan di kampusnya gitu deh. Baru pas liburan, balik deh ke tangan saya. Haha, how i miss him (him : kamera saya, seorang Nikon D5100 lawas sejak tahun 2011 :D). Dan pas liburan kemarin juga, alhamdulillah dapet rejeki lensa fix Nikon AF-S 35mm f/1.8G. Hehe. Seneng? Jelas. Sudah lama banget kepengin lensa fix, yang kemarin-kemarin minjem terus. Hehe. Ini penampakannya :
Difoto pake kamera HP Asus Zenfone 5, jadi gak well kalo kata orang Jogja. Haha
Kelengkapan lensanya standar Nikon, yah. Ada lens hood dan lens pouch-nya. Sama apalagi, lupa eh. Maklum dus lensanya di rumah Pare, pas nulis ini sedang di kos-kosan di Jogja. Lensa fix cenderung sering di pakai buat motret portrait ya, meskipun nggak selalu. Teman-teman juga bisa kalau mau kreatif pakai lensa fix untuk motret landscape, still life, nyetrit (street photography) atau jenis-jenis foto lain. Seni fotografi kan nggak mutlak, meskipun ada teknik dasarnya. Apa salahnya berfikir out of the box, kan?
Okelah sung aja, pas dijodohin sama Nikon D5100 enak kok (gak menjelaskan sama sekali ya kata enak nih, wkwk). Nikon D5100 adalah termasuk kamera yang punya crop factor 1,5. Apa itu crop-factor? Baca penjelasannya Belfot disini. Jadi untuk focal length lensa 35 mm, sebenarnya bukan 35 mm murni karena adanya crop factor. Hasilnya akan lebih nge-zoom gitu. Itung-itungannya kaya gini : 1,5 x 35 mm = 52,5 mm. Nah, sebenarnya meskipun kita pakai lensa dengan panjang fokal 35 mm, tapi hasilnya setara dengan panjang fokal 52,5 mm karena adanya crop factor tadi. Kalau mau baca lebih lanjut tentang plus minusnya kamera crop dan full frame bisa baca disini. Continue reading →