Menghargai Setiap Jengkal

Hargai setiap jengkal yang kamu lihat. Lalu tangkaplah pola dan keindahannya.

Dalam perjalanan saya menjalani hobi foto-foto, saya usahakan untuk melihat segala sesuatu sebagai objek foto. Saya coba menggunakan perasaan untuk memutuskan objek tersebut menarik atau tidak. Kalau hasil olah rasa mengatakan menarik, lalu lanjutkan dengan memikirkan dari sudut mana dan komposisi seperti apa yang pas agar foto yang dihasilkan nantinya bisa mentransfer rasa yang kita rasakan saat itu. Proses inilah yang mengawali terciptanya foto objek yang berantakan tapi malah menarik. Hwee…

Screenshot-2017-10-24 Nadira Arfa Nariswari Yusuf ( nadirajusuf) • Instagram photos and videos

Setelah mendapatkan objek yang kira-kira menarik untuk jadi objek foto, coba bereksperimen dengan komposisinya. Kalau mau main aman dan tetep nyaman dipandang, coba deh pake komposisi ‘rule of thirds’.  Ini ada contoh foto-foto ‘main aman’ saya. Wkwkwk… Continue reading

Alas Foto Flatlay Ekonomis

Hola!

Sebelumnya saya mau cerita dulu, boleh ya? hehe. Sekarang ini, udah 2 bulanan ini, saya bergabung di Tim Optimis-nya Pictalogi. Hijrahlah saya ke Malang. Mungkin beberapa ada yang belom tau, Pictalogi itu apa. Jadi, Pictalogi adalah sebuah layanan jasa mencetak foto secara mudah dari gadget atau dari medsos (Facebook dan Instagram) ke dalam bentuk yang menarik. Fotomu bisa dicetak ke ala ala Polaroid, ala foto photobox kalo di mall-mall alias Photostrip, ke dalam bentuk album, ke poster yang ada piguranya, bahkan dicetak diatas talenan juga bisa. Dan semua bisa dilakukan dari rumah. Tinggal pilih-pilih foto, upload, bayar, selesai! Boleh di pirsani langsung ke webnya pictalogi.com, atau di Instagramnya di @pictalogi. Wkwk, ga papa yaa, promo dikit.

Nah, di Pictalogi ini saya belajar foto flatlay sebagai foto produknya. Kamera yang digunakan di kantor adalah Canon EOS 100D, lensanya kit aja (mungkin lain kali akan saya review dipostingan lain). Sebelumnya selalu gagal kalo mencoba belajar memotret foto flatlay pake Nikon D5100 saya. Entah ngapa ya sense-nya jadi engga keluar. WKWKWK aneh banget emang.

Nah, alas foto yang digunakan untuk foto flatlay di Pictalogi ini sangat ekonomis, colorful, dan mudah dicari di pasaran. Yakni menggunakan kertas! Kertas apa aja yang digunakan? Cekidot! Continue reading

Tutorial Photoshop Mudah : Mengecilkan Kapasitas Foto Tanpa Mengurangi Kualitas

Assalamualaikum!

Bagi pemuda-pemudi yang baru lulus kuliah pasti lagi getol-getolnya kirim lamaran pekerjaan, kan? Dan biasanya ada syarat yang mengharuskan untuk mengupload pas foto dalam ukuran yang kurang dari 1 MB. Misalnya persyaratan mendaftar CPNS yang mewajibkan mengupload pasfoto dengan kapasitas maksimumnya harus 70 Kb. (Dalam hati udah mbatin : “Etdah bagemana ceritanya foto ukuran 70 Kb tapi kualitas tetep baik? At least, muka masih nampak jelas lah.”)

Udah nyoba aplikasi yang bisa ngeresize foto tapi malah burem ga keliatan mukanya? Eh jangan pesimis dulu! Pake Adobe Photoshop bisa kok. Kelebihan meresize menggunakan Photoshop adalah foto tetap dalam resolusi yang tetap besar, namun kapasitas filenya menjadi kecil. Jadi foto tetap HD. Kaya gini ya, caranya : Continue reading

Jangan Takut sama Shutter Count

Assalamualaikum.

Alhamdulillah, cuaca Jogja utara sedang cerah. Gimana di tempat teman-teman? Apapun cuacanya, semoga selalu dalam lindungan-Nya.

Disuatu pagi yang memikirkan skripsi, tiba-tiba ingat kalau ada banyak draft judul (iyaaa, judul doang! -.-) di blog yang belum diselesaikan. Semoga menulis tentang seni bisa jadi sarana refreshing bagi otak kiri saya. hihihik.

Beberapa kali saya terlibat diskusi dengan teman-teman tentang shutter count. Si pemantik issue bilang, “Jadi jepretan di kamera itu ada batesannya, ya? Wah, ya sayang dong kita beli mahal-mahal kalo dibatesin njepretnya?” Jadi kesannya kayak ‘buang-buang duit aja beli kamera kalo ujungnya njepret aja dibatesin njuk kudu tuku meneh ngono’. Continue reading

Menjajal Nikon AF-S 35 mm f/1.8G

Assalamualaikum.
Baru juga beberapa bulan lalu berniat istiqomah ngeblog, teteup lah kalah sama malasnya. Entah hari ini kena mood baik, pengen nyoba nulis panjang lagi. Udah keseringan nulis chat di aplikasi messenger sih. Hehe.

Selama semester 7 lalu, kamera saya dipinjem adik dibawa ke Bandung buat urusan kepanitiaan di kampusnya gitu deh. Baru pas liburan, balik deh ke tangan saya. Haha, how i miss him (him : kamera saya, seorang Nikon D5100 lawas sejak tahun 2011 :D).  Dan pas liburan kemarin juga, alhamdulillah dapet rejeki lensa fix Nikon AF-S 35mm f/1.8G. Hehe. Seneng? Jelas. Sudah lama banget kepengin lensa fix, yang kemarin-kemarin minjem terus. Hehe. Ini penampakannya :

Jpeg

Difoto pake kamera HP Asus Zenfone 5, jadi gak well kalo kata orang Jogja. Haha

Kelengkapan lensanya standar Nikon, yah. Ada lens hood dan lens pouch-nya. Sama apalagi, lupa eh. Maklum dus lensanya di rumah Pare, pas nulis ini sedang di kos-kosan di Jogja. Lensa fix cenderung sering di pakai buat motret portrait yameskipun nggak selalu. Teman-teman juga bisa kalau mau kreatif pakai lensa fix untuk motret landscape, still life, nyetrit (street photography) atau jenis-jenis foto lain. Seni fotografi kan nggak mutlak, meskipun ada teknik dasarnya.  Apa salahnya berfikir out of the box, kan?

outside_box

Comot dari Google

Okelah sung aja, pas dijodohin sama Nikon D5100 enak kok (gak menjelaskan sama sekali ya kata enak nih, wkwk). Nikon D5100 adalah termasuk kamera yang punya crop factor 1,5. Apa itu crop-factor? Baca penjelasannya Belfot disini. Jadi untuk focal length lensa 35 mm, sebenarnya bukan 35 mm murni karena adanya crop factor. Hasilnya akan lebih nge-zoom gitu. Itung-itungannya kaya gini : 1,5 x 35 mm = 52,5 mm. Nah, sebenarnya meskipun kita pakai lensa dengan panjang fokal 35 mm, tapi hasilnya setara dengan panjang fokal 52,5 mm karena adanya crop factor tadi. Kalau mau baca lebih lanjut tentang plus minusnya kamera crop dan full frame bisa baca disini. Continue reading

Pada 50 mm f/1.8

Assalamualaikum. Lupa sekali kalau punya blog ini.

Tiba-tiba di minggu pagi yang sejuk, karena Jalan Kaliurang habis hujan subuh tadi, teringat kalau saya punya blog. Ah bisa nih diaktifkan kembali karena sekarang udah ada jaringan wifi-nya Indiehome yang ngebut abis. Daripada cuma untuk buka youtube dan facebook, alangkah baiknya kalau di manfaatkan sebaik-baiknya, ya kan?  Wkwkwk.

Oke, langsung aja deh. Sebenernya pengen share hasil-hasil foto pake kamera dan lensa pinjeman, Canon 60D + lensanya Canon EF 50 mm f1.8. Emang ya, kalau pake lensa yang bisa mbokeh-mbokeh gitu, background yang gak bagus aja bisa jadi keliatan bagus, dan fotonya jadi bagus deh. Wkwkwkw. Pantesan banyak fotografer yang menekuni dan berbisnis di dunia fotografi modelling banyak mengandalkan lensa ini. Karena selain harganya relatif murah, hasilnya pun ciamik. Worth it laah. Kalau anda sedang ingin masuk ke dunia fotografi modelling, namun masih bingung memilih lensa, saya sarankan untuk membeli lensa yang sering disebut lensa fix ini. Di pasaran banyak ya, diproduksi lensa-lensa fix seperti demikian, namun dengan focal length dan maximum aperture yang berbeda. Ada yang 35 mm, 50 mm, 85 mm, dll aja yang mudah. Wkwk. Cekidot hasil foto-fotonya, ya. Continue reading

Gak Mau Diduain

Gak mau ada yang ketiga

“Isengin burung gereja yang pada nongkrong diatap garasi rumah. HAHAH.” –caption asli

Hoaam, karena tiba-tiba aja sadar pingin baikin ini blog, jadi edit-edit-in postingan yang tulisannya gak enak untuk dibaca. Hehehe.

Ini masih dalam serangkaian foto-foto kemaruk ngereyen tele Nikon 55-300 mm yang baru pas jaman masih SMA. Masih baru banget belajar fotografi. Jadi sering cari-cari objek dan momen lucu dilingkungan rumah buat di foto-fotoin. Nah, tiba saatnya, kalo gak salah pas sore-sore, jamnya burug gereja rame-rame nongkrong di atap. Terlihatlah momen demikian, langsyunggg deh cekrek-in aja banyak banyak. Yang mana yang bagus, kita liat belakangan. Hehehehe.

Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa dalam belajar fotografi, kita harus ‘peka’. Bukan peka dengan kode-kode pacar, yaa. Hehe. Tapi peka dengan sekitar kita. Kira-kira bagus gak yaa kalo difoto. Kata seorang fotografer professional yang pernah saya baca di majalah Digital Camera Indonesia, -tapi lupa siapa. maafffkaan keluputanku ini-,”Hargai setiap senti yang kamu lihat.” Entah bener begitu kalimatnya, apa saya yang lupa. Tapi kurang lebih gitu laah intinya. Kalau menurut apa yang saya tangkap sih, baiknya kita melihat indahnya dari sesuatu. Always look at the bright side-nya gitu deh. Misal nih, messy-nya jemuran baju yang keliatan berantakan.

Untitled

Dengan komposisi garis-garis dan sedikit sentuhan mood ala filternya VSCOcam, foto ini bisa agak indah dilihat. Wkwkwk.

Jadi, intinya, -untuk kehidupan juga deh-, alangkah baiknya kalau kita melihat segala sesuatu yang terjadi pada kita adalah dari sisi positifnya atau sisi baiknya. Karena dari sanalah kita bisa mengambil pelajaran dan insyaallah bisa selalu bersyukur kepada Allah SWT.

Hahahahah anjir bijak banget. Siapa nih yang nulis barusan?

Bokehin Daun dan Pelajarannya

Bokehin Daon

Pertamakali tau bahwa focal length dapat mempengaruhi bokeh, waktu itu masih SMA, iseng-iseng motret di teras rumah, lagi jamannya kemaruk ngereyen lensa telenya Nikon 55-300mm. Motretin daun dan batang pohon mangga, dengan background-nya pohon-pohon peneduh di pinggir jalan. Batinku, “Eh, ternyata bisa gini, ya,kalo di-zoom.”

It’s been 4 or 5 years ago. Time flies. 

Pelajaran yang bisa diambil adalah, bahwa kita berproses. Pengetahuan yang kita miliki juga melalui proses untuk sampai ke kita. Proses belajarnya pun macem-macem. Kalau menurut pengalaman pribadi, proses belajar fotografi ini paling banyak dari metode learning by doing. Kita nggak bisa bikin foto bagus, angle keren, lighting yang pas, konsep yang out of the box, kalau nggak sering practice. Tentunya dibarengi dengan banyak cari referensi, kayak buku, majalah, surfing di internet, nonton video tutorial di YouTube, lihat-lihat foto bagus di Instagram, atau ngobrol dengan yang lebih dulu nyemplung ke dunia fotografi ini. Dan jangan membatasi diri untuk belajar. Namun menemukan satu atau dua hal yang bener-bener kita suka dan enjoy disana, nah barulah kita seriusin, kita dalami. Kata orang sih, seorang ahli dibayar mahal karena di fokus di satu hal. Meskipun belum tentu dia ahli juga di hal lain. Hehehehe.

Sekian racauan di pagi hari nan sejuk semerbak bau tanah kena hujan ini. Selamat weekend!

P.S: Ini udah disunting Januari 2015. Aslinya nggak gini tulisannya. Alay banget. Hehehe.